Sejarah MTs Negeri Ciranjang

MTs Negeri Ciranjang didirikan pada tanggal 8 Januari 1983 atau 23 Rabiul Awal 1403H oleh Menteri Agama Bapak H. Alamsyah Ratu Prawirangara dengan nama Madrasah Al Islamiah atau lebih dikenal dengan MTs Teladan Cibanteng Ciranjang dibawah Yayasan GUPPI Kabupaten Cianjur. Pada tahun 1996 berubah menjadi MTs Negeri Ciranjang Cianjur

Selasa, 15 Maret 2011

Patriotisme Bangsa dalam Narrative Genre

E Elis Aisah
Sejarah sebuah bangsa sangat tergantung kepada siapa yang mengisi ingatan masyarakat. Nilai-nilai perjuangan sebuah bangsa adalah nilai-nilai yang tidak bebas dari nilai karena memiliki tujuan yang merepresentasikan keinginan dan cita-cita dari pelaku dan pembuat sejarah.
Kesadaran akan kekuatan dari pentingnya mengisi ingatan masyarakat dan menanamkan nilai-nilai patriotism kebangsaan telah menjadikan Soeharto sebagai tokoh sentral sejarah masa lalu bangsa Indonesia walaupun fakta sejarah menafikannya. Beliau pada saat berkuasa mengerti betul kekuatan bahasa sebagai perwakilan tidak hanya pesan namun juga mewakili unsur ideasional dan interpersonal.
Sebutlah film-film Temon, Janur Kuning, dan Penumpasan G.30S/PKI yang sering diputar ketika menghadapi momen-momen sejarah bangsa menjadi narasi yang sangat dinantikan pada waktu itu dan telah berhasil menggetarkan semnagat masyarakat pada masanya. 
Namun, terlepas dari doktrinasi yang ditanamkan, apa yang Soeharto pernah lakukan kiranya harus menjadi sebuah inspirasi bagi pelaku sejarah, ahli sejarah para penulis bahkan para guru bahasa untuk menarasikan kembali semangat-semangat nasionalisme yang sesuai dengan fakta dalam berbagai bahasa yang dipelajari generasi baru (baca: Siswa).
Terlebih lagi, pembelajaran bahasa inggris yang menekankan pada genre, keberadaan teks narasi bertemakan semangat nasionalisme sangat diperlukan. Hal ini diperlukan untuk mencegah distorsi kebudayaan dan pengikisan semangat nasionalisme keindonesiaan dalam maraknya internasionalisi pendidikan.
Perlu diingat bahawa dalam pendekatan genre, mengadopi pendekatan fungsional, bahasa diartikan sebagai alat menegosiasi makna dalam proses interaksi yang sangat sensitive terhadap konteks budaya dan situasi (Lihat Halliday, 2004; Eggins, 2004). Sedangkan belajar dimaknai sebagai proses membuat makna dan pengalaman baru yang dibentuk secara bersama-sama dalam proses interaksi antara murid (termasuk didalamnya pengetahuan terdahulu mereka), guru, dan sumber-sumber aktifitas sosial dalam interaksi sosial masyarakat (Lihat Emmitte & Pullock, 1995; Christie, 2004).
Dengan memahami paradigm pendekatan tersebut, adalah keniscayaan jika guru dalam mengajarkan bahasa Inggris menanamkan semangat kepahlawanan bangsa Indonesia dalam teks-teks yang mereka pilih dan buat sebagai model acuan pembelajaran. Teks-teks narasi yang sering kita temukan di buku sumber hanya memfokuskan diri terhadap unsur imaginasi yang kurang menyentuh ranah konteks sosial, kontek budaya dan kedewasaan siswa.
Terlebih lagi sebuah teks narasi yang baik harus mengandung unsur koda–kesimpulan dari sebuah cerita yang dapat disarikan dalam kehidupan (Christie, 2009 dalam sebuah Seminar), maka menghadirkan teks narasi sejarah bangsa sendiri akan memberikan beberapa manfaat yakni memberikan contoh yang real dalam memperjuangkan kehidupan, mewariskan semangat kepahlawanan dan memberikan pemahaman bahwa bahasa memiliki keterkaitan kontekstual dengan situasi khususnya dalam sejarah nasional.
Adalah perjuangan besar kita sebagai guru bahasa Inggris untuk menarasikan dan mendiskusikan tokoh perjuangan Putra Sang Pajar “Soekarno” ketika menjalani masa kecil, Soewardi Soeryaningrat ketika menuliskan “Als ik eens Nederlander was”, Muhammah Hatta ketika hidup dipengasingan, perjuangan Bung Tomo sebelum moment 10 November atau perjuangan tokoh Raden Aria Wirata Nudatar membebaskan Tatar Sunda dari Kompeni. Menghadirkan tokoh perjuangan negeri ini mutlak diperlukan untuk memberikan identitas bahwa bangsa ini juga memiliki para pejuang yang ditakuti bangsa lain. Juga sebagai pernyataan sikap bahwa perjuangan melepaskan belenggu yang menghalangi majunya bangsa ini dalam percaturan dunia masih terus akan bergaung selama ruh sejarah perjuangan masih tetap membara dalam dada.
(Terima kasih tak terhingga pada Dosen Sastra yang telah membakar semangat dal
am kuliah kami tanggal 30 Oktober 2009).


* Penulis adalah Guru Bahasa Inggris di MTs. Negeri Ciranjang dan Mahasiswa SPS UPI).


Eneng Elis Aisah*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar